Mengenai Saya

Foto saya
Depok , Jawa Barat, Indonesia

Kamis, 23 Februari 2012


OTONOMI DAERAH DAN PERSPERKTIF PEMBANGUNAN SOSIAL
“Meletakkan Dasar Pembangunan di Kalimantan Tengah”
Dw. Kristianto. 



P
erubahan orietasi pembangunan yang sentralistik menuju desentralisasi telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam konsep ketata pemerintahan di Indonesia. Paradigma baru tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua pasal 18 ayat 1, yang menetapkan bahwa, Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk mengatur pelaksanaan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa, Pemerintah Daerah mengatur urusan-urusan yang didesentralisasikan, memiliki otonomi dalam pengaturan dan pengurusannya.
Angin segar reformasi tersebut juga berdampak pada tata pemerintahan di Provinsi Kalimantan Tengah. Arah paradigma pembangunan yang berubah tersebut menuntut peran berbagai pihak untuk dalam mewujudkan pembangunan yang berkualitas dimana pembangunan yang mampu memberi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.
Kenapa otonomi daerah menjadi pilihan?. Proses sentralisasi kebijakan seringkali tidak bisa mengakomodir proses-proses pembangunan yang diinginkan masyarakat untuk menjawab kebutuhan hidup mereka, lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan telah membuat pembangunan justru mencerabut masyarakat dari akar budaya mereka. Fakta lain kita juga dihadapkan pada pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan selain memberikan manfaat berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga berakibat pada realitas sosial dimana terjadi ketimpangan kesejateraan dan penguasaan aset. berbagai kesenjangan dan ketimpangan tersebut tidak saja kesejangan antar masyarakat (miskin dan kaya) tapi juga kesenjangan antara desa, antara desa dan kota, kesenjangan antara daerah. hal tersebut yang menjadi jastifikasi kenapa arah pembangunan lebih diarahkan kearah desentralisasi karena pembangunan yang sentralistik telah berdampak pada kondisi yang digambarkan tersebut.
Sedangkan selain otonomi daerah orientasi pembangunan bergeser dari pembangunan yang bertumpu pada pembangunan ekonomi kepada pembangunan sosial yang saat ini menjadi mainstream secara global. Pembangunan sosial tidak hanya menjadi sebuah dimensi dalam pembangunan, tetapi juga menjadi cara pandang alternatif dalam pembangunan (yang umumnya dimaknai sebagai pembangunan ekonomi) untuk mencapai human well being rakyat. Ketika para kepala negara di belahan dunia berkumpul di Copenhagen 1995 dalam World Summit on Social Development,  mereka merumuskan tujuan secara bersama memperkuat tindakan nasional untuk mempromosikan pembangunan sosial dan sebuah komitmen global kepada pembangunan keberlanjutan. Mereka membangun komitment untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan tenaga kerja yang produktif, mengurangi penganguran dan memperkuat integrasi sosial (Sutoro et al., 2005;82). 
Maka wajarlah kiranya jika paradigma pembangunan daerah di Indonesiah,  khusunya diwilayah Provinsi Kalimantan Tengah perlu mengacu paradigma pembangunan sosial, dimana pembangunan yang mengutamakan rakyat menjadi arus utama. Memang dalam operasinalisanya tidalah mudah, Korten (1993) menyatakan konsep pembangunan berpusat pada rakyat memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Intinya adalah membantu rakyat untuk membantu diri mereka sendiri keluar dari masalah-masalah yang dia hadapi sehingga menjadi masyarakat mandiri atau civil socety dalam arti sesunguhnya.
Paradigma baru tersebut harus digabungkan dalam paradigma pembangunan daerah sehingga otonomi daerah yang bertujuan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat bukan hanya pada kuantitasnya tapi juga kualitasnya. Ini menjadi tantangan baru bagi para pemimpin daerah untuk menghadirkan kepamimpinan daerah yang visioner dan mempunyai visi terhadap pembangunan daerahnya. Pembangunan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi telah berdampak pada minimnya pertisipasi masyarakat dan kesenjangan sosial lihat saja data BPS BPS (1997) menunjukkan 97,5 persen aset nasional dimiliki oleh 2,5 persen bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari keseluruhan dunia usaha di Indonesia.
Tentunya bukan potret pembanguan seperti ini yang kita inginkan. Pembangunan adalah untuk kesejateraan dan keadilan seluruh rakyat, bukan pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Saat ini Otonomi daerah belum mampu menjawab itu semua, otonomi daerah hanya menguntungkan segelintir elit lokal dan kroniya. Ini menjadi tugas bersama bagaimana arah pembangunan daerah di era otonomi ini sesua dengan tujuan dan harapan yang kita mimpikan bersama. 


HARI TANI, KESEJAHTRAAN PETANI DAN PEMBAHARUAN AGRARIA
DW.KRISTIANTO
Penulis adalah Penggiat Pembaharuan Agraria 

Mungkin belum banyak orang tahu kenapa tanggal 24 september diperingati sebagai Hari Tani. Penetapan Hari Tani didasarkan pada hari kelahiran Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, lebih dikenal dengan UUPA. Alasannya, salah satu isi UUPA mengatur tentang ketetapan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah pertanian (pembaharuan agraria/reforma agraria/landreform). Ditetapkan kelahiran UUPA sebagai hari tani dengan pemikiran bahwa tanpa peletakan dasar keadilan bagi petani untuk menguasai sumber agraria, seperti tanah, air, dan kekayaan alam, mustahil ada kedaulatan petani.

Sejarah mencatat pidato Presiden Soekarno dalam peresmian gedung Fakultas Pertanian IPB tahun 1953, pidato yang dikenal dengan judul “Antara Hidup dan Mati”, beliau menekankan bahwa masalah besar yang di hadapi bangsa Indonesia adalah bagaimana memberi makan penduduk. Karena kondisi inilah, Petani ditempatkan pada posisi yang bertanggung jawab memberi makan penduduk, disamping masih harus memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri dan keluarganya. Artinya peran petani sangat mulia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Meski Indonesia dikenal sebagai negeri agraris dengan sebagian besar penduduknya adalah petani dan nelayan, namun sikap terima kasih dan kebanggaan kepada kaum tani sangat minimalis, dalam Berita Resmi Statistik (Maret 2010) Jumlah penduduk miskin Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), 64,23 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Padahal Petani mempunyai kontribusi yang besar terhadap peradapan masyarakat maka wajarlah jika Presiden Pertama Republik Indonesia menempatkan petani paling istimewa. 

Tak bisa dipungkiri kondisi kemiskinan itu terus akan berlangsung dengan paradigma pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan petani di pedesaan. lihatlah masuknya investasi asing terutama dalam industri perkebunan di Indonesia telah merampas lahan milik masyarakat petani. Dengan dalih pembangunan maka pemerintah lebih senang mendorong investasi besar ketimbang mendorong kemandirian petani. 

Dimana kemandiran dan kesejateraan petani akan didorong kalau masyarakat petani tak lagi berdaulat akan lahan mereka? Pemerintah telah gagal menjalankan amanah konstitusi yakni melaksanakan pembaharuan agraria. 

Pembaharuan agraria hadir ketika ketimpangan sumber daya agraria terjadi, dimana sebagian kecil masyarakat/badan usaha menguasai sebagian besar sumber daya agraria sementara sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses dan kepemilikan terhadap sumber daya agraria tersebut. 

Kalau kita lihat definisi yang ada, reforma agraria/pembaharuan agraria atau sering dikenal dengan landreform adalah suatu upaya untuk menata ulang struktur agraria/tanah dari yang sebelumnya tidak adil menjadi lebih berkeadilan sosial. Struktur agraria sendiri adalah potret pemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi di masyarakat. Dalam bahasa sederhananya, ketika struktur agraria di masyarakat diketahui kondisinya timpang, dalam arti sebagaian besar tanah yang ada di republik ini dikuasai oleh sebagian kecil penduduknya, maka sebagaian besar penduduknya itu tidak menguasai tanah khususnya kaum tani, maka disitulah urgensi pembaharuan agraria itu hadir. Artinya reforma agraria adalah jalan bagaimana memastikan sumber daya agraria dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

DW.KRISTIANTO

DW.KRISTIANTO:

'via Blog this'

Rakyat Berdaulat atas Tanahnya

Rakyat Berdaulat atas Tanahnya
Tanggal : 06 Jan 2012
Sumber : Prakarsa Rakyat

Kekerasan negara atas rakyatnya kembali mengoyak nurani. Rakyat harus lagi-lagi mengorbankan hidupnya untuk setiap jengkal tanah yang diperjuangkannya. Tutup tahun 2011 ditandai dengan penembakan yang dilakukan oleh Brimob terhadap masyarakat di Pelabuhan Sape. Korban jiwa pun tidak terelakkan, 3 warga meninggal dunia pada kejadian itu. Blokade pelabuhan yang dilakukan oleh Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) adalah bentuk protes atas kehadiran tambang emas PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Nusa Tenggara Barat.

Kasus lain tentang konflik tanah antara rakyat melawan pemilik modal yang dibekengi negara juga terjadi di Mesuji. Perusahaan-perusahaan sawit dengan luas area konsesi mencapai puluhan ribu hektar telah menyingkirkan rakyat dari tanahnya, sebut saja PT Sumber Wangi Alam dan PT Silva Inhutani. Penyerobotan lahan oleh korporasi untuk lahan perkebunan maupun tambang, bukan terjadi satu dua kali saja di negeri ini. Sudah banyak terjadi kasus serupa sejak rejim Soeharto yang membuka investor asing menanamkan modalnya di Indonesia.

Kedua peritiwa ini dengan jelas menggambarkan keberpihakan negara atas pemilik modal. Polisi dan TNI yang seharusnya melindungi rakyat, justru lebih memilih melindungi korporasi yang memberikan uang keamanan. Tentu kita masih ingat dengan uang jasa pengamanan senilai US$ 79,1 juta yang dikucurkan Freeport kepada Polisi dan TNI untuk mengamankan aset-asetnya di Papua.

Belum habis itu semua, aparat keamanan menunjukkan arogansinya dengan menganiaya 3 orang anak atas tuduhan mencuri sandal. Tidak cukup sampai di situ, polisi kemudian menyeret anak-anak tersebut ke meja hijau. Dan ironisnya, hakimpun menjatuhkan vonis untuk memenjarakan anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa.

Tentu rakyat sebagai sang pemilik kedaulatan negeri ini tidak tinggal diam. Setiap jengkal tanah yang diusik oleh pemilik modal akan selalu menghadapi perlawanan dari rakyat. Dan atas setiap hukum yang tidak berpihak kepada rakyat, akan selalu dijawab oleh gelombang protes masyarakat luas menuntut keadilan yang sejati.



Redaksi
PRAKARSA RAKYAT
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/editorial/artikel.php?aid=52935