Mengenai Saya

Foto saya
Depok , Jawa Barat, Indonesia

Jumat, 25 Maret 2011

KEBIJAKAN PEMBAHARUAN AGRARIA DI INDONESIA
“Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan Komunal”
Dwi Kristianto
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial KekhususanPembangunan Sosial
FISIP UI
ABSTRAK


Penelitian ini menggunakan metode dekriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan selain pada dasar teori juga menelusuri kajian-kajian tentang model pengelolaan lahan secara komunal beserta sistem yang medukung sedangkan wawancara dilakukan terhadap 10 informan yang sengaja dipilih secara purposive oleh peneliti berdasarkan kebutuhan informasi yang diperlukan dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian didapatkan pelaksanaan program pembaharuan agrara merupakan jalan untuk mewujudkan kesejateraan dan keadilan sosial, pala pola kepemilikan lahan komunal pilihan kebijakan yang bisa diambil adalah : 1). Recognize(pengakuan terhadap tanah yang dimiliki secara komunal/adat/ulayat) oleh Negara, 2). Recognize + Distribusi untuk komunal, 3). Recognize + Redistribusi untuk komunal, dan 4). Konsolidasi.


Kata Kunci:
Pengelolaan Komunal, Pembangunan, Pilihan Kebijakan,


PENDAHULUAN
Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan sosial mesti diselesaikan dari akar masalahnya. Dengan sebagain besar penduduknya adalah petani dan nelayan maka permasalahan ketersediaan lahan di Indonesia merupakan masalah kunci sebagai salah satu pintu masuk menyelesaikan permasalahan sosial dan kemiskinan.
Dewasa ini masalah pertanahan belum dapat dipecahkan sebagimana yang diharapkan, bahkan semakin rumit sejalan dengan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas masyarakat itu sendiri. Media massa cetak maupun elektronik telah melaporkan berbagai sengketa pertanahan yang terjadi di hampir di seluruh wilaya Indonesia, dengan berbagai variasi masalah dan kecenderungan dampak buruk lainya. (Sofyan Cholid 2004).
Disampaikan juga bahwa sesungguhnya negara memiliki mandat untuk mengelola seluruh sumber daya agraria, untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Seperti tercantum dalam pasal 33 ayat 3 amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Akan tetapi, dalam kurun waktu dekade terakhir ini, masalah pertanahan di Indonesia telah mencuat kepermukaan. Salah satu permasalahan dibidang pertanahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak, yaitu semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat.
Sensus pertanian tahun 1993 menunjukan bahwa 69% luas tanah pertanian dikuasai oleh 16% rumah tangga pedesaan, sementara 31% luas tanah pertanian sisanya dikuasai oleh sebagian besar petani kecil dan tunakisma (84% rumah tangga pedesaan). Demikian pula hasil sensus pertanian tahun 2003, telah mengidentifikasikan bahwa lebih dari 70% luas tanah pertanian dikuasai oleh tidak lebih besar 12% rumah tangga pedesaan. Sehingga, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir ini luas rata-rata penguasaan tanah per-rumah tangga pertanian semakin mengecil yaitu 1,05 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,74 hektar pada tahun 1993, dan menurun tajam pada sensus pertanian tahun 2003. Fenomena tersebut semakin diperburuk dengan adanya fragmentasi tanah yang semakin tidak bisa dihindari, alih fungsi tanah pertanian ke-pengunaan non pertanian yang tidak terkendali, masalah lingkungan sebagai akibat eksploitasi yang berlebihan dan masalah lainnya.
Maka dalam penelitian ini akan fokus mengkaji tentang Kebijakan Pembaharuan Agraria di Indonesia “Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan Komunal”. Sebagai upaya menjawab berbagai permasalahan pengelolaan sumberdaya agraria di Indonesia.
MASALAH PENELITIAN.
Dalam kebijakan redistrbusi lahan di Indonesia hal yang penting diperhatikan adalah bagaimana pola kepemilikan lahan masyarakat di Indonesia. Mengacu pada beberapa kajian menyimpulkan bahwa ada dua model kepemilikan lahan oleh masyarakat yaitu pola kepamilikan individu(private) dan kepemilikan kelompok/komunal. Pola kepemilikan ini mempengaruhi pola pengelolaan dan hubungan masyarakat dengan lahan. Sehingga apabila kebijakan redistribusi lahan ini tidak memperhatikan pola-pola kepemilikan dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya lahan ditakutkan program tersebut justru akan merusak struktur dan budaya masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya lahan.
Masalah lain yang juga perlu diperhatikan dalam program pembaharuan agraria adalah bagaimana program pembaharuan agraria di Indonesia memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap penguasaan tanah adat yang dikuasai secara komunal dan turun-temurun, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Penggelolaan sumberdaya lahan yang terlalu pro terhadap investasi khususnya usaha produksi hutan (HPH/HTI), perkebunan skala besar dan pertambangan telah menghilangkan kesempatan masyarakat lokal untuk memanfaatkan tanah dan hutan(sumberdaya agraria) yang meraka miliki.
Berdasarkan latar belakang diatas dan tanpa mengesampingkan berbagai pokok-pokok masalah dalam pelaksanaan program pembaharuan agraria di Indonesia, penelitian ini akan membatasi pada:
1. Seperti apa pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal di Indonesia.
2. Seperti apa tipe dan ciri-ciri pengelolaan lahan komunal di Indonesia.
Latar belakang budaya dan tradisi masyarakat dalam mengelola lahan harus menjadi dasar penentuan model landreform di Indonesia, kelompok masyarakat yang memiliki kepemilikan secara komunal tentunya tidak sama dengan masyarakat yang pola kepemilikan lahannya secara individu. Penelitian ini diharapkan bisa memberi informasi pada operasionalisasi program landreform di Indonesia dan untuk memberikan hasil yang komprehensif dalam menjawab berbagai pertanyaan, maka penelitian ini akan mengacu pada penelitan dan studi yang pernah dilakukan sebelumnya.
TUJUAN PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN.
Tujuan dari penelitan Kebijakan Pembaharuan Agraria di Indonesia “Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan Komunal”. adalah : Memetakan berbagai pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal di Indonesia. dan Merumuskan pilihan kebijakan Landreform pada pola kepemilikan lahan komunal sebagai referensi program pembaharuan agraia di Indonesia.
Pendekatan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Tipe penelitian eksploratif atau yang bersifat menjelajah sedangkan ruang lingkup penelitian fokus untuk merumuskan model pilihan kebijakan landreform di Indonesia dalam upaya mendorong kebijakan opresional program Pembaharuan Agraria di Indonesia khusunya pada wilayah-wilayah yang tidak mengenal kepemilikan individu. Dengan unit analisis adalah berbagai bentuk atau pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal dan seperti apa tipe dan ciri-ciri pengelolaan lahan komunal di Indonesia. Selain itu juga oponi model idial dalam perspektif pemerintah, penelitian dan akademisi, lembaga riset dan NGO dalam upaya mendorong kebijakan operesional program Pembaharuan Agraria di Indonesia. Semua kajian akan didasarkan atau diklarifikasi dengan UUPA tahun 1960 dan paradigma Pembangunan Sosial.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN TEKNIK ANALISIS DATA.
Sumber data adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumbernya untuk mengetahui sejarah, pandangan dan perkembangan kebijakan Pembaharuan Agraria di Indonesia. Ada dua tenik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini: Studi Pustaka (library research) Wawancara Para Ahli (exert panel). Dalam menganalisis data, akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut, pertama, data dikumpulkan dengan cara observasi langsung, interview, dan mengumpulkan data dari kepustakaan, arsip, dan berita pers. Kedua, melakukan penilaian dan pengamatan terhadap data primer dan sekunder yang selanjutnya akan diuji dengan UUPA dan paradigma Pembangunan Sosial. Ketiga, melakukan interpretasi data untuk dikaji berdasar kerangka dasar teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari penelitian.
TEMUAN LAPANGAN DAN PEMBAHASAN
1. Pembaharuan Agraria sebagai Fondasi Pembangunan.
Tidak dijalankan pembaharuan agaraia khusunya landreform di Indonesia justru menjadikan masyarakat Indonesia, khusunya masyarakat-masyarakat yang kehidupanya tergantung pada sumberdaya agraria baik masyarakat petani di pedesaan ataupun komunitas masyarakat Adat yang hidup mengelola sumberdaya lahan secara turun-temurun harus berkonflik dengan sektor private/swasta yang di beri ijin oleh negara untuk mengelola sumberdaya lahan di Indonesia.
Teori pertumbuhan ekonomi yang menjadi paradigma pembangunan nasional pada masa orde baru telah merusak struktur dan nilai-nilai lokal sementara tujuan akhir bahwa pelaksanaan teori tersebut dengan membantu pihak yang kuat yang nantinya akan berdampak pada masyarakat kecil tidak terjadi.
Dalam kontes tersebut sesungunya pola landreform dengan pendekatan komunal adalah dalam upaya mengupayakan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok sosial yang sudah berkembang pada masyarakat komunal. Selanjutnya landreform adalah upaya mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan, Pendekatan pola komunal pada masyarakat komunal adalah dalam upaya pembangunan yang menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan yang memutuskan, berikutnya adalah pembangunan yang berkelanjutan artinya bukan hanya ramah lingkungan tetapi tradisi-tradisi lokal harus ditingkatkan kwalitasnya untuk keberlanjutan sistim dan produktifitas lahan sehingga menjadikan masyarakat untuk mempunyai kemampuan membangun secara mandiri dan independence yaitu pembangunan berarti mengurangi ketergantungan untuk menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati. Hal tersebut yang harus menjadi perhatian bagi perancang, perencana dan pelaksana model pembaharuan agraria nantinya.
2. Pembaharuan Agraria dan Paradigma Pembangunan Sosial
Pembaharuan agraria by design merupakan hal yang harus kita upayakan dalam mendorong trasformasi sosial yang di cita-citakan. Kegagalan paradigma pembangunan ekonomi melahirkan paradigma pembangunan sosial, dimana bagaimana pertumbuhan ekonomi yang berkwalitas yaitu pertumbuhan yang diikuti dengan pemerataan.
Sebagian besar masyarakat Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani, saat ini akses mereka terhadap sumberdaya lahan semakin terbatas. Sebagian besar masyarakat petani terus tergusur karena harus merelakan lahanya untuk usaha-usaha skala besar. Bukan mereka saja, masyarakat Adat yang telah lama dan turun temurun menghuni dan mengelola suatu kawasan akan terus dijauhkan dari sumberdaya lahan mereka, ketika pengakuan terhadap eksistensi dan kewenangan mereka untuk mengelola sumberdaya lahan terus dibatasi. Kondisi ini tidak lepas dari pilihan kebijakan pembangunan yang kita anut.
Realitas sosial tersebut yang semestinya mendorong negara ini untuk melakukan perombakan secara total terhadap ketimpangan struktur penguasaan tanah. Meski demikian perombakan struktur penguasaan tanah atau program landreform bukan hanya program pembagian lahan, melainkan satu program dalam upaya mengurangi diferensiasi sosial dimana tanah menjadi bagian utama. Sedangkan secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (well-being) pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (Social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley, ed al. Kebijakan pembaharuan agraria khusunya landreform seharusnya dalam konteks pembangunan sosial, untuk itu baik distribusi, redistribusi, konsolidasi ataupun recognize harus dalam kerangka pembangunan sosial dimana peran pemerintah dalam mendorong masyarakat untuk melakukan trasformasi sosial dalam upaya meningkatkan kwalitas hidup mereka dapat diwujudkan.
Hal ini bisa dilakukan dengan mengadopsi dan memperkuat sistim dan tatanan sosial masyarakat agar lebih mandari dalam melakukan trasformasi sosial untuk meningkatkan kwalitas hidup meraka. Pengetahuan-pengetahuan lokal, tradisi, nilai-nilai setempat, norma yang berkembang dan sudah mendarah daging merupakan kekuatan dan potensi yang bisa membawa masyarakat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi. Model pembaharuan agraria khusunya landreform harus dibangun berdasarkan hal tersebut, bukan sesuatu yang baru dimana ketika program tersebut dilakukan mereka harus beradaptasi pada sistim baru tersebut.
3. Reforma Agraria Prasyarat dan Penerapanya
Dalam teori dasar landreform secara normatif dapat dibedakan menjadi tiga model yaitu: Kolektivisasi model sosialis, “Family Farm” model kapitalis, “Family Farm” model Neo-Populis. (Cf. Ghose, 1983; Prosterman, et.al., 1987; juga J. Harris, 1982 dalam Wiradi hal 46). Di Indonesia salah satu pola yang dominan mempengaruhi kebijakan pengelolaan sumberdaya agraria adalah “Family Farm” model Neo-Populis ini tercermin dalam kebijakan yang disusun untuk mengelola sumberdaya agraria yaitu UUPA tahun 1960. Dimana didalam UUPA tahun 1960 selain mengakuai hal milik pribadi negara juga mengkui hak milik komunal atau masyarakat Adat dan juga memberikan ruang bagi sektor swasta untuk dapat mengelola sumberdaya agraria.
Hal yang perlu diperhatikan Wiradi (2001) pembaharuan agraria harus memperhatikan beberapa hal antara lain : (a) “politically tolerable”; (b) “economically viable”; (c) “culturally understandable”; (d) “socially acceptable”; (e) “legally justifiable”; (f) “ technically applicable”. Berdasar hal tersebut maka pemerintah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) Kepala BPN RI juga menekankan empat prinsip di dalam menjalankan kebijakan, program dan proses pengelolaan pertanahan di masa depan, yaitu: Pertama (Prosperity), meningkatkan kesejahteraan rakyat penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan yang kedua (Equity): peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Ketiga (Social Welfare): mewujudkan tatanan kepastian yang harus dijaga kehidupan bersama yang harmonis. Keempat(Sustainability): Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Sedangkan kalau bicara kesuksesan program pembaharuan agraria selain beberapa aspek diatas yang juga harus ada desain model oprasional yang sudah dirancang dan dipersiapkan sebelumnya. Sesuai dengan ,tujuan dan berdasarkan dengan potensi baik potensi sumberdaya lahan, bentuk-bentuk pengelolaan dan peruntukan dan faktor-faktor budaya yang berkembang pada setiap wilayah.
4. Membangun Model Landreform di Indonesia.
Dari penelusuran data dan wawancara serta mengacu pada UUPA 1960 maka dapat didapatkan gambaran awal pola landreform di Indonesia. Karena kesuksesan program pembaharuan agraria dalam konteks landreform salah satunya adalah pola dari pelasanaan landreform dan pilihan-pilihan oprasionalisasinya. Kalau di kelompokkan setidaknya ada 3 pola yang bisa di kembangkan yaitu: a). Komunal, b). Individual, c). Campuran/modifikasi antara komunal dan Individual.
Pada pilihan kebijakan kepemilikan, penguasaan, pengusahaan maupun pengelolaan komunal dapat di kelompokan menjadi dua pilihan antara lain:
a. Murni komunal.
Komunal murni dapat diterapkan pada sumber daya agraria yang bisa dimanfaatkan bersama atau mempengaruhi hajat hidup orang banyak seperti hutan, danau. Pada pola komunal murni peran negara dalam peruntukan fungsi perlindudungan dan pemanfaatan dominan.
b. Komunal yang didalamnya ada individu.
Pada pola ini khusunya bisa diterapkan pada usaha tani dimana kepemilikan dipegang oleh komunal atau komunitas sementara pengelolaanya diserahkan pada individu, dengan didasarakan pada kesepakatan dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat komunal.
5. Bentuk-bentuk Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Komunal di Indonesia.
Untuk mencari pilihan kebijakan model landreform di Indonesia khusunya pada pola komunal, maka dalam penelitian ini dilakukan eksplorasi melalui studi pusaka dari hasil-hasil penelitan, buku dan artikel yang bisa mengambarkan pola-pola kepemilikan komunal di berbagai komunitas masyarakat Indonesia. Untuk memperdalam kajian tersebut juga telah dilakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang berkecimpung dalam dunia agraria di Indonesia
a. Batak Toba
Tanah Komunal dikelola secara individu, dan diwarikan menurut garis keturunan Ayah (patrilineal)
Aturun Dalihan na tolu dalam hal kepemilikan dan penguasaan lahan, terutama tanah di Tanah Batak antara lain: a). Warisan, b). Pauseang, c).Ulos Nasora Buruk, d). Indahan Arian, e). Dondontua, f) Upasuhut, g).Marga,
b. Minangkabau
Tanah Komunal dikelola secara individu, dan diwarikan menurut garis keturunan Ibu (matrilineal). Bentuk kelola dibagi tiga antara lain:
· Bauduah (Wilayah dibawah kelola Suku)
· Balega (bergilir)
· Pagang-Gadai- Susuik
Model demikian memperlihatkan cara mempertahankan dan memanfaatkan sumber alam dilandasi kesepakatan-kesepakatan yang dikonstruksi oleh mamak atas dasar aturan lokal dalam mengatur siapa, apa, bagaimana, dan mengapa penguasaan dan pemanfaatan sumber alam demikian
c. Masyarakat Penunggu
Kepemilikan komunal dengan sistem pengelolaan individu. Lahan yang tidak lagi dikelola, akan diambil lagi oleh Adat. Untuk dikelola oleh warga adat secara produktif
d. Dayak
Kepemilikan komunal dengan sistem pengelolaan individu, dengan model ladang berpindah. Masyarakat Dayak mempunyai konsep Palasar Palaya mengatur pemanfaatan dan pengelolaanya lahan dan sumberdaya alam yang lainya sesuai dengan fungsinya dengan memperhatikan keseimbangan serta kemampuan daya dukung alam dalam suatu lingkungan komunitas
e. Bali
Seluruh tanah adalah milik Desa Adat. Dikelola oleh Desa Adat untuk didistribusikan kepada warga adat sesuai dengan norma-norma hukum adat yang ada.(awig-awig)
f. Timor
Tanah Komunal dikelola secara individu. Pengelolaan lahan yang tadinya secara komunal ini mulai bergeser pada pola kepemilikan individu, hal ini bisa terjadi jika individu tersebut sudah lama mengelola lahan secara intensif di satu wilayah
g. Papua
Tanah milik Adat/Komunal dikelola secara individu. Kebijakan pengelolaan lahan dipegang oleh Ketua Suku.
6. Batas wilayah komunal dan permasalahnya.
Batas wilayah pada masyarakat komunal saat ini memang belum ada data otentik yang bisa menyajikan informasi tersebut. Pendekatan pemetaan partisipatif dirasa bisa memfasilitasi masyarakat komunal untuk mengenal dan mendokumentasikan wilayah komunal mereka. Minimnya informasi tentang batas wilayah komunal ini juga karena perbedaan wilayah administrasi(baik desa, kecamatan, kabupaten maupun propinsi) dengan wilayah komual. Bahkan diwilayah tertentu wilayah adat mereka juga masuk dalam wilayah negara lain.
Wilayah administrasi komunal berbeda dengan wilayah administrasi tata pemerintahan baik itu pada tingkat desa, tingkat kecamatan kabupaten, maupun propinsi. Bahkan beberapa suku Dayak misalnya juga ada wilayah komunalnya di wilayah negara lain (Malaysia). Menurut wawancara dengan Direktur Titian. Pada masyarakat dayak di Kalimantan seringkali wilayah komunalnya berada pada wilayah administrasi pemerintahan yang berbeda, hal tersebut seringkali menimbulkan perbedaan pendapat di antara masyarakat komunal dan masyarakat dengan pemerintah.
Yang menarik dari dalam penentuan tata batas tidak hanya didasaekan pada tanda-tanda alam tapi juga lebih dari itu pada suku dayak misalnya, suku Dayak dalam menentukan batas wilayah ini ditujukan untuk membangun kebersamaan (sense of community) sekaligus untuk menjaminrasa aman (physical safety) dan lahan untuk mewadahi kegiatan bersama dalam mengusahakan kesejahteraan(material well-being), di lain pihak, keluar, merupakan pengakuan akan eksistensi sub-suku lain yang juga dihormati haknya untuk hidup berdampingan secara damai. Masyarakat Suku Dani juga begitu penghormatan terhadap wilayah adat Suku lain bukan hanya dilihat dari batas-batas fisik tapi juga batas spiritual dimana Suku lain yang mengakses, mengambil atau mengusahakan wilayah yang bukan wilayah sukunya diyakini akan berdampak pada kehidupan mereka. Ini menunjukan betapa kearifan budaya mereka begitu luhur dalam menghormati batas-batas wilayah suku mereka.
Minimnya daya yang bisa menyediakan informasi terhadap kepemilikan lahan komunal ini berdampak pada status kepemilikan tanah komunal tidak dapat dibuktikan berupa alat seperti surat sertifikasi tanah oleh negara, karena informasi tentang data dan informasi yang menyajikan kebutuhan data tersebut hanya bersumber dari silsilah sejarah keberadaan komunitas marga atau suku yang memiliki suatu wilayah dan hanya didasarkan pada batas-batas alam, yang seringkali tidak terdokumentasi dengan baik. Meski demikian hal ini semestinya tidak dijadikan alasan bagi perancang, perencana dan pelaksana Landreform untuk tidak mengakomodir pengakuan hak bagi masyarakat-masyarakat komunal. Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan tata batas yang belum terdokumentasi dengan baik hanya menjadi permasalahan masyarakat komunal saja, tapi juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dimana batas-batas dari pengelolaan agraria dalam berbagai fungsinya juga belum selesai.
7. Pengelolaan lahan komunal yang sesuai dengan karateristik masyarakat Indonesia, dalam kerangka optimalisasi lahan.
Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain). Jadi, “land reformplus program-program penyiapan berbagai infrastruktur itulah yang kemudian diberi istilah dalam bahasa Inggris Agrarian Reform. Negara pertama yang berusaha menerapkan pembaruan agraria dengan paket lengkap seperti itu adalah Bulgaria yaitu pada tahun 1880-an (King, 1977:34).
Sedangkan dalam Yusuf Napiri M, menyampaikan ada 5 (lima) tujuan utama yang hendak dicapai dari program landreform plus yang akan dilaksanakan pemerintah melalui pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dengan komponen asset reform, access reform yang kemudian diistilahkan dengan “Landreform Plus”, yaitu:
· Menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan kekayaan alam lainnya sehingga menjadi lebih berkeadilan sosial,
· Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, khususnya kaum tani dan rakyat miskin di pedesaan,
· Mengatasi pengangguran dengan membuka kesempatan kerja baru di bidang pertanian dan ekonomi pedesaan,
· Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik, dan
· Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektif untuk mengatasi sengketa dan konflik agraria.
Selain lima tujuan di atas, pemerintah juga menyatakan bahwa pelaksanaan PPAN diharapkan juga dapat mewujudkan ketahanan pangan dan energi, serta dapat memperbaiki dan menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.
Menurut wawancara dengan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria program pembaharuan agraria khusunya landreform di Indonesia dari sisi produktifitas tanah pasca landreform, dalam rumus kepala BPN Bapak Joyo reforma agraria itu sama dengan landreform +akses reform. Ketika penataan strutur tanah sudah selesai ketika peteni dipastikan punya tanah dan kita berharap pemilikan, penguasaan dan pemilikan tanah ini secara kolektif secara bersama misalnya untuk menghindari jual beli atau lepasnya tanah dari rakyat miskin atau menghindari dari spekulasi komuditisasi komersialisasi tanah. Landreform selesai reforma agraria belum selesai kenapa karena tanah yang sudah didistribusikan/redistribusikan kepada masyarakat itu belum tentu atau tidak secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat yang menerima tanah, belum tentu dan tidak otomatis. Oleh karena itu diperlukan sejumlah input istilah pak Gunawan Wiradi itu input-input pasca landreform sarana dan prasarana pendukung terhadap tanah.
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria menyampikan model pengelolaan lahan komunal yang sesuai dengan karateristik masyarakat Indonesia, dalam kerangka optimalisasi lahan dan beberapa contoh input-input yang mendukung landreform adalah: idilanya program landreform itu merupakan satu program yang tidak hanya pembagian lahan. Banyak dimensu yang harus medukung kebujakan ini misalnya kebijakan pemerintah terkait dengan akses pasar dan perlindungan produk-produk pertanian, ketersediaan fasilitas yang mendukung dalam usaha pertanian seperti teknologi, dan fasilitas pendukung, adanya. Sementara permasalahan-permasalah pupuk dan dan faktor-faktor produksi yang lain terus diupayakan melalui pengetahuan-pengetahuan yang berkebang dimasyarakat yang terus digali dan diakui keberadaanya. Seperti perlidungan produk-produk bibit unggul yang ditemukan atau dimiliki petani dan semacamnya.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendekatan komunal ini kalau bicara produktif sangat produktif. Dalam usaha-usaha pertanian modern yang biasanya dilakukan oleh sektor swasta juga sangat efektif. Sehingga sekarang tinggal bagaiman landreform dibangun dengan pendekatan-pendekatan yang lebih koprehensif atau menyeluruh atau bagaimana hulu-hilir ini kan nyabung sehingga tujuan akhir dari landreform bahwa tanah untuk keadilan dan kesejahteraan itu akan terwujud. Sehingga ketakutan-ketakutan bahwa masyarakat adat yang masih subsisten itu kan lain tidak perlu lagi ada artinya kesempatan komunitas-komunitas masyarakat untuk bisa dengan kolektif justru lebih efektif dalam pengelolaan lahan. Pendapat serupa disampikan oleh Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, menurutnya salah satu nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah kegotong-royongan, fakta itu bisa buktikan dalam berbagai tradisi dan budaya masyarakat di berbagai pulau di Indonesia. disampaikan dalam diskusi bahwa :
Kesimpulan :
1.     Tidak  dijalankan  kebijakan pembaharuan  agraria dengan perangkat kebijakan yang dikenal dengan UUPA 1961. Kondisi tersebut yang menjadikan pembangunan di Indonesia seperti tidak tahu arah, proses pembangunan berjalan tetapi trasformasi sosial untuk meningkatakan kesejahteraan rakyat tidak terjadi. Ini bisa dibuktikan bahwa sampai saat ini tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi, rendahnya peluang-peluang untuk menciptakan lapangan kerja dan menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan, hal tersebut terjadi karena kebijakan yang dijalankan dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan hanya terbatas pada dampak-dapak dari kemiskinan bukan pada akar masalah dari kemiskinan.
2.   Adalah hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara bukan hak pemilikan dari negara, seperti asas domain, tetapi sama dengan hak ulayat dalam hukum adat. Dalam kaitanya dengan itu, negara diberi wewenang untuk mengatur antara lain kekayaan itu mensejahterakan rakyat, antara lain dengan mengatur peruntukan, pengunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa (lihat pasal 2 UUPA).
3.   Konflik agraria di  Indonesia  berpotensi  menjadi  masalah sosial  yang  sulit untuk diselesiakan, ketimpangan aksas masyarakat baik penguasaan maupun pengusahaan tanah sangat mempengatuhi tingkat kesejateraan masyarakat. Ketidakjelasan status kepemilikan dan pengusahaan tanah menjadikan masyarakat mempunyai posisi tawar yang lemah baik dihadapan negara maupun sektor swasta. Hal tersebut yang mendasari kenapa pelaksanaan program pembaruan agraria menjadi agenda yang mendesak untuk segera dilaksanakan.
4.    Pembaharuan Agraria sebagai fondasi pembangunan yang dimaksud adalah pembaharuan agraria selain sebagai cara mendistribusi sumberdaya agraria secara adil juga memberikan kepastian hukum bagi berbagai pihak terhadap kepemilikan, pengelolaan dan pengunaan sumberdaya agraria. Pembaharuan agraria itu didefinisikan sebagai upaya untuk meletakan dasar bagi pembangunan nasional yang lebih lanjut. Pembaharuan agraria juga dasar atau fondasi bagi dijalankanaya pembangunan nasional, termasuk didalamnya industrialisasi nasional dimana peran masyarakat dominan.
5.   Kejelasan status kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan lahan merupakan bagian dari jaminan kepastian investasi bagi sektor swasta dan bagi masyarakat ada kepastian hak sehingga mereka tidak tergusur oleh sebuah proses pembangunan.
6.     Seluruh kebijakan Pembaharuan Agraria khusunya landreform semuanya harus memiliki koneksitas yang kuat antara model yang dirancang dengan kondisi sosial ekonomi, politik dan budaya yang ada di masyarakat itu, tanpa ada koneksi itu dan tanpa melihat keragaman sosial ekonomi, politik dan budaya maka, bisa pastikan bahwa program itu akan gagal atau tidak sesua tujuan yang diharapkan.
7.       Selian  empat  faktor  yaitu   adanya   “Kemauan politik”    dari pemerintah, adanya  Organisasi  rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat dan pro-reform, adanya data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti, dan kondisi elit penguasa yang terpisah dari elit bisnis (Aparat birokrasi, bersih, jujur dan “mengerti”). Foktor lain yang juga menentukan kesuksesan program pembaharuan agraria dalam konteks land reform adalah desain dari pelasanaan landreform dan pilihan-pilihan oprasionalisasinya. Kalau di kelompokkan setidaknya ada 3 pola yang bisa di kembangkan yaitu:
a. Komunal
b. Individual
c. Campuran/modifikasi antara komunal dan Individual.
8.     Pada pilihan kebijakan kepemilikan, penguasaan, pengusahaan maupun pengelolaan komunal dapat di kelompokan menjadi dua pilihan antara lain:
a. Murni komunal.
Komunal murni dapat diterapkan pada sumber daya agraria yang bisa dimanfaatkan bersama atau mempengaruhi hajat hidup orang banyak seperti hutan, danau. Pada pola komunal murni peran negara dalam peruntukan fungsi perlindudungan dan pemanfaatan dominan.
b. Komunal yang didalamnya ada individu.
Pada pola ini khusunya bisa diterapkan pada usaha tani dimana kepemilikan dipegang oleh komunal atau komunitas sementara pengelolaanya diserahkan pada individu, dengan didasarakan pada kesepakatan dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat komunal.
9.      Model  kepemiliakn   komunal   yang   didesain   idianya   mampu   memformulasikan dan mewadahi kepentingan berbagai sektor dan stakeholder sehingga model idialnya harus:
a. Adaftif pada kepentingan masyarakat komunal (Adat)
b. Adaftif pada proses pembangunan
c. Adaftif terhadap indifidu-individu yang ingin memiliki kepemilikan secara komunal.
d. Adaftif perkembangan sektor swasta
10.   Minimnya data yang bisa menyediakan informasi terhadap kepemilikan lahan komunal ini berdampak pada status kepemilikan tanah komunal tidak dapat dibuktikan berupa alat seperti surat sertifikat tanah oleh Negara, karena informasi tentang data dan informasi yang menyajikan kebutuhan data tersebut hanya bersumber dari silsilah sejarah keberadaan komunitas marga atau suku yang memiliki suatu wilayah dan hanya didasarkan pada batas-batas alam, yang seringkali tidak terdokumentasi dengan baik. Meski demikian, hal ini semestinya tidak dijadikan alasan bagi perancang, perencana dan pelaksana landreform untuk tidak mengakomodir pengakuan hak bagi masyarakat-masyarakat komunal. Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan tata batas yang belum terdokumentasi dengan baik bukan hanya menjadi permasalahan masyarakat komunal saja, tapi juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dimana batas-batas dari pengelolaan agraria dalam berbagai fungsinya juga belum selesai.
11.  Perlu  adanya pengakuan keberadaan dan wilayah tetitori dari masyarakat, komunal/adat (recognize) karena jauh sebelum negara ini ada dan berbagai kebijakan pemerintah melalui undang-undang, masyarakat sudah tinggal disatu kawasan secara turun-temurun. Selain itu meraka mempunyai seluruh perangkat yang mengatur pengelolaan sumberdaya agraria yang mereka miliki. Meski demikian kebijakan pengakuan terhadap bentuk-bentuk kelola masyarakat khusunya pada sitim komunal akan sulit terjadi jika tidak ada payung hukum yang melindungi sistim ini. Undang-Undang Dasar 1945 amendment IV pada pasal 18B butir 2 menjelaskan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sementara pasal 28C butir 2 Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Sementara dalam UUPA 1960 pada pasal 3 UUPA hanya mencantumkan redaksi “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuia dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi” ini yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan dan selayaknya UUPA bisa memperjelas maksud dari UUD 1945 khusunya amendment IV pada pasal 18B butir 2.
12. Seperti disampaikan oleh PBB dalam The Human Development Report 1996 bahwa buah dari pembangunan justru menghasilkan: a). Job-les growth : ada pembangunan tetapi tidak menciptakan peluang pekerjaan, padahal pekerjaan merupakan kebutuhan mendasar karena kalau manusia tidak bekerja kemanusiaanya akan hilang, dengan bekerja manusia bisa berkreasi untuk mendapat harkat dan martabat, b). Ruth-less growth : pembangunan itu kejam karena justru pembangunan harus mengorbankan kelompok-kelompok tertentu, c). Root-less growth : pembangunan telah mencerabut masyarakat dari akar budaya atau pembangunan yang tidak berakar atau tidak berdampak pada masyarakat lokal, d) Voice-less growth: pembangunan tanpa suara “pembangunan yang tanpa peran serta masyarakat yaitu masyarakat miskin dan kaum perempuan, e). Future-less growth pembangunan yang tidak punya masa depan “pembangunan yang menghabiskan dan merusak sumberdaya. Berdasarkan hal tersebut maka pembaharuan agraria khusunya landreform harus bisa menjawab semua persoalan diatas sehingga pola kepemilikan komunl yang berbasis adat, tradisi selayaknya harus terus diupayakan untuk dilindungi dan dikembangkan kwalitasnya guna mewujudkan pembangunan yang berkeadilan sosial.

Rekomendasi
1.    Keanekaragama pola pengelolaan tanah di Indonesia khusunya pada pola-pola komunal menjadikan tidak mudahnya pelaksanaan landreform khusunya oprasionalisasi landreform sehingga perlu kajian pilihan model landreform yang tidak hanya mendistribusi aset tapi juga memberikan kepastian hukum dan perlidungan terhadap masyarakat. Selain itu kebijakan landreform harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan disektor lain yang mendorong pertumbuhan dunia usaha pertanian seperti perlindungan produk dan pengelolaan akses pasar baik nasional maupun internasional, sarana dan sarana pertanian dari mulai irigasi dan akses transportasi dan sektor-sektor yang mendukung lainya.
2.  Selain itu juga program Pembaruan agraria harus memperbaikan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Model pembaruan agraria harus bisa menghadirkan pemenuhan hak azasi manusia baik itu hak politik, hak ekonomi maupun sosial dan budaya. Yang juga harus diperhatikan bagi perancang, perencana dan pelaksana pembaruan agrarian adalah bagaiman landreform memberikan pemenuhan hargadiri, harkat dan martabat human dignity hak sosial-budaya.
3.  Tidak adanya payung kebijakan nasional yang menjadi acuan terhadap setiap kebijakan yang dilahirkan dalam pengelolaan sumber daya agraria sehingga diperlukan segera untuk memperkuat posisi UUPA dalam berbagai kebijakan nasional.
4.   Perlunya studi-studi tentang Model-model pelasanaan landreform khusunya pada pola kepemilikan komunal dengan mengkaji lebih dalam tentang kondisi sosial ekonomi, sosial politik dan budaya. Studi-studi tersebut dalam upaya mendukung informasi dan keberhasilan program landreform pada pola-pola komunal maka penggalian silsilah kepemilikan hak atas suatu kawasan yang merupakan lokasi hidup komunitas adat setempat melalui proses penelitian dan kajian sosial budaya.
5.   Perlu dilakukan pemetaan wilayah kepemilikan berdasarkan komunitas suku maupun marga untuk memastikan batas-batas wilayah antar suku maupun marga. Pemetaan ini dilakukan dengan metode partisipatif sehingga pengakuan satu wilayah tidak menjadi konflik dengan komunitas komunal yang lain.
6.   Pilihan Kebijakan Landreform di Indonesia Pada Pola Kepemilikan Komunal.
A. Recognize(pengakuan terhadap tanah yang dimiliki secara komunal/adat/ulayat) oleh Negara,
B. Recognize + Distribusi untuk komunal,
C. Recognize + Redistribusi untuk komunal,
D. Konsolidasi.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-Buku
BPS (1999), Penduduk Miskin: Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin, No. 04/Th.II/9, July, Jakarta: BPS.
Midgley, James. (2005). Pembangunan Sosial : Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial/ James Midgley Jakarta Ditperta Islam Departemen Agama RI
King, Russel,. (1977). Land Reform : A World Survey, West New Press, Boulder, Colorado
Saidi Anas (2009) Kemiskinan Berdimensi Sosial-Budaya: Upaya Mencari Model Pengentasan Kemiskinan Berbasis Participatory Poverty Assessment
Cholid, Sofyan., (2006)“Redistribusi Tanah Dalam Usaha Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Petani” Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jilid 4, Nomor 2, Oktober, 166-187.
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung, Tarsito, 1994, hal. 134.
Winoto “Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat” Key Note Speech Simposium Nasional Dewan Guru Besar Universitas Indonesia 2010
Wiradi, Gunawan (1996) “Jangan Pelakukan Tanah Sebagai Komuditi” Jurnal Analisis Sosial AKATIGA Edisi 3/Juli
______________ (2000) Reformasi Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, INSIST Press Yogyakarta
______________(20-23 Agustus 2001). Reforma Agraria Sebagai Basis Pembangunan. Makalah Seminar dan Lokakarya: "Arah Kebijakan Nasional Mengenai Tanah dan Sumberdaya Alam Lainnya", diselenggarakan oleh Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA) bekerjasama dengan Kelompok Kerja Pengelolaan Sumberdaya Alam (Pokja PSDA) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), di Bandung,
Yusuf Napiri M, Mohamad Sohibuddin Iwan Nurdin, Syahyuti, Reforma Agraria: Kepastian Yang Harus Dijaga. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) 2006
II. PUBLIKASI ELEKTRONIK
UN Human Development Report Growth for human development?” http://hdr.undp.org/en/media/hdr_1996_en_overview.pdfThe 1996