OTONOMI DAERAH DAN PERSPERKTIF
PEMBANGUNAN SOSIAL
“Meletakkan Dasar Pembangunan di
Kalimantan Tengah”
Dw. Kristianto.
P
|
erubahan
orietasi pembangunan yang sentralistik menuju desentralisasi telah membawa
berbagai perubahan mendasar dalam konsep ketata pemerintahan di Indonesia. Paradigma
baru tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 amandemen kedua pasal 18 ayat 1, yang menetapkan bahwa, Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Untuk mengatur pelaksanaan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang tersebut ditegaskan
bahwa, Pemerintah Daerah mengatur urusan-urusan yang didesentralisasikan,
memiliki otonomi dalam pengaturan dan pengurusannya.
Angin
segar reformasi tersebut juga berdampak pada tata pemerintahan di Provinsi
Kalimantan Tengah. Arah paradigma pembangunan yang berubah tersebut menuntut
peran berbagai pihak untuk dalam mewujudkan pembangunan yang berkualitas dimana
pembangunan yang mampu memberi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.
Kenapa
otonomi daerah menjadi pilihan?. Proses sentralisasi kebijakan seringkali tidak
bisa mengakomodir proses-proses pembangunan yang diinginkan masyarakat untuk
menjawab kebutuhan hidup mereka, lemahnya partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan telah membuat pembangunan justru mencerabut masyarakat
dari akar budaya mereka. Fakta lain kita juga dihadapkan pada pembangunan
ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan selain memberikan manfaat berupa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga berakibat pada realitas sosial dimana
terjadi ketimpangan kesejateraan dan penguasaan aset. berbagai
kesenjangan dan ketimpangan tersebut tidak saja kesejangan antar masyarakat
(miskin dan kaya) tapi juga kesenjangan antara desa, antara desa dan kota,
kesenjangan antara daerah. hal tersebut yang menjadi jastifikasi kenapa arah
pembangunan lebih diarahkan kearah desentralisasi karena pembangunan yang
sentralistik telah berdampak pada kondisi yang digambarkan tersebut.
Sedangkan
selain otonomi daerah orientasi pembangunan bergeser dari pembangunan yang
bertumpu pada pembangunan ekonomi kepada pembangunan sosial yang saat ini menjadi mainstream secara global. Pembangunan
sosial tidak hanya menjadi sebuah dimensi dalam pembangunan, tetapi juga
menjadi cara pandang alternatif dalam pembangunan (yang umumnya dimaknai
sebagai pembangunan ekonomi) untuk mencapai human well being rakyat. Ketika para kepala negara di belahan dunia
berkumpul di Copenhagen 1995 dalam World
Summit on Social Development, mereka
merumuskan tujuan secara bersama memperkuat tindakan nasional untuk
mempromosikan pembangunan sosial dan sebuah komitmen global kepada pembangunan
keberlanjutan. Mereka membangun komitment untuk mengurangi kemiskinan,
meningkatkan tenaga kerja yang produktif, mengurangi penganguran dan memperkuat
integrasi sosial (Sutoro et al., 2005;82).
Maka wajarlah kiranya jika paradigma
pembangunan daerah di Indonesiah, khusunya diwilayah Provinsi Kalimantan Tengah
perlu mengacu paradigma pembangunan sosial, dimana pembangunan yang
mengutamakan rakyat menjadi arus utama. Memang dalam operasinalisanya tidalah mudah, Korten (1993)
menyatakan konsep pembangunan berpusat pada rakyat memandang inisiatif kreatif
dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang
kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai
oleh proses pembangunan. Intinya adalah membantu rakyat untuk membantu diri
mereka sendiri keluar dari masalah-masalah yang dia hadapi sehingga menjadi
masyarakat mandiri atau civil socety
dalam arti sesunguhnya.
Paradigma baru tersebut harus
digabungkan dalam paradigma pembangunan daerah sehingga otonomi daerah yang bertujuan mendekatkan
pelayanan publik kepada masyarakat bukan hanya pada kuantitasnya tapi juga
kualitasnya. Ini menjadi tantangan baru bagi para pemimpin daerah untuk
menghadirkan kepamimpinan daerah yang visioner dan mempunyai visi terhadap
pembangunan daerahnya. Pembangunan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi
telah berdampak pada minimnya pertisipasi masyarakat dan kesenjangan sosial
lihat saja data BPS BPS (1997) menunjukkan 97,5 persen aset nasional dimiliki oleh 2,5 persen
bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang dimiliki
oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari
keseluruhan dunia usaha di Indonesia.
Tentunya bukan potret pembanguan seperti
ini yang kita inginkan. Pembangunan adalah untuk kesejateraan dan keadilan
seluruh rakyat, bukan pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Saat
ini Otonomi daerah belum mampu menjawab itu semua, otonomi daerah hanya
menguntungkan segelintir elit lokal dan kroniya. Ini menjadi tugas bersama
bagaimana arah pembangunan daerah di era otonomi ini sesua dengan tujuan dan
harapan yang kita mimpikan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar