Mengenai Saya

Foto saya
Depok , Jawa Barat, Indonesia

Kamis, 24 Maret 2011


























SELAMATKAN HUTAN UNTUK BANGSA KITA
“Save FOReST for Our Nation”[i]
Dw.Kristianto

Hiduplah tanahku hiduplah negeriku
Bangsaku rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya






Sepenggal bait lagu kebangsaan Indonesia Raya tersebut sering kita dengar dan nyanyikan. Waktu upacara atau acara-acara kenegaraan lainnya. Entah apa yang dirasakan waktu itu. Perasaan bangga atau hanya sekadar ritual seremonial?
Indonesia, negeri tercinta ini bukanlah negeri yang papa. Betapa tidak, hampir seluruh ragam kekayaan perut bumi tersaji di sini, tapi siapa yang menikmati? Hasil tambang, flora, fauna, kawasan perairan yang kaya, kawasan darat yang luar biasa subur sampai keindahan alam yang membuat bangsa lain berdecak kagum. Apalagi yang kurang?
Rendahnya nasionalisme membuat kita lupa bahwa kita masih punya tanggung jawab terhadap negeri ini. Sebuah muatan yang akan menjadi beban jika naluri dan nasionalisme kita masih setipis irisan keripik singkong. Pantaskah kita mengangkat kepala dengan rasa bangga akan devisa yang terus meningkat, sementara kekayaan negeri ini dikuras habis oleh asing dan kita tidak bisa merebut kembali?
Pengantar
Kami sengaja memilih judul ini, sebab kami yakin bahwa dengan mengelola sumber daya hutan dengan baik niscaya kita dapat menyelesaikan semua masalah bangsa khususnya masalah ekonomi, sosial dan lingkungan serta kesehatan. Hal ini didasari atas ketersediaan sumber daya hutan yang kita miliki. Dengan luas daratan sekitar 189,15 juta ha, Indonesia menjadi pemilik hutan terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah tersebut menjadikan sektor kehutanan selama tiga dasawarsa sebagai penggerak gerbong perekonomian nasional dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terbesar pengekspor produk kayu olahan. Namun, kini perannya dalam perekonomian nasional meredup seiring dengan kritisnya sumber daya hutan. Devisa yang diterima menjadi tidak berarti dibandingkan kerusakan lingkungan dan bencana alam yang terjadi akibat kesalahan dalam mengurus hutan di masa lalu.
Komitmen pengelolaan hutan di Indonesia sesunguhnya telah dilakukan mengarah pada kelestarian hutan dan pembangunan berkelanjutan. Namun demikian, pada kenyataannya sampai saat ini masih terdapat kelemahan dalam pengelolaan sumber daya hutan yang menyebabkan penurunan kualitas maupun kuantitas sumber daya hutan dan pada akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi serta dampak sosial pada tingkat yang sangat menghawatirkan[1].
Hutan, Sumber Daya Alam Tak Ternilai
Sumber daya hutan Indonesia yang berfungsi sebagai salah satu komponen sistem penyangga kehidupan, merupakan amanah Tuhan yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia untuk dikelola dengan bijaksana agar mampu memberikan manfaat secara optimal dan lestari. Sebagai negara yang merupakan salah satu ”megadiversity country”, artinya Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia, terutama keragaman tumbuhan berkayu, serangga, amphibia, reptilia, burung dan mamalia. Megadiversity country lainnya adalah Columbia, Mexico, Zaire dan Brazil. Meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,5 % dari luas dunia, Indonesia memiliki sekitar 12% dari mammalia dunia, 7,3% reptilia dan ampibia, dan 17% burung.
Hasil penelitian ahli konservasi dari Conservation International menyimpulkan bahwa untuk melestarikan 50% dari keanekaragaman hayati di dunia, hanya diperlukan 4% dari luas daratan bumi. Sebagian besar kawasan itu berada di kawasan tropis. yang saat ini berada dalam wilayah administrasi sekitar 25 negara di dunia, termasuk Indonesia (Myers dkk. 2000).
Refleksi Kerusakan Hutan Indonesia
Departemen Kehutanan melaporkan bahwa laju kerusakan hutan mencapai sekitar 1,6 juta ha per tahun (Dephut, 2001) atau 2 juta ha per tahun (FWI, 2001) ataupun 2,4 juta ha per tahun (WALHI, 2001), yang seakan tidak kunjung menemui titik jenuhnya. Dari tiga laporan tersebut, menegaskan bahwa kita kehilangan enam (6) kali luas lapangan sepak bola tiap menitnya atau dalam satu tahunnya kita kehilangan tiga (3) kali luas kota Jakarta.
Yang sangat menarik dari angka-angka di atas adalah proporsi deforestasi sangat dominan dikuasai oleh illegal logging. Selain itu, kebakaran hutan dan pengembangan sektor perkebunan selama 30 tahun terakhir telah menciptakan kerusakan dan berkurangnya hutan dataran rendah. Memang kebijakan pengelolaan hutan senantiasa dipengaruhi oleh kondisi politik nasional dan pasar global. Lemahnya penegakan hukum semakin menciptakan ketidakjelasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Selain itu, otonomi daerah melahirkan konflik kewenangan pengelolaan hutan.
Selama ini sumber daya hutan Indonesia telah memberi manfaat sebagai salah satu modal utama pembangunan ekonomi nasional, antara lain dalam bentuk pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pengembangan wilayah. Kontribusi sumber daya hutan pada perekonomian nasional tidak perlu dipertanyakan lagi, ini bisa dibuktikan dalam kurun 1992 – 1997, sektor kehutanan berhasil menyumbang devisa sebesar US$ 16 miliar dan memberi kontribusi terhadap PDB nasional termasuk industri kehutanan rata-rata sebesar 3,5% (BPS, 2004). Pada tahun 2003, ekspor kehutanan dilaporkan mencapai US$ 6,6 milyar atau sekitar 13,7% dari seluruh ekspor non migas. Sungguh disayangkan besarnya nilai tersebut tidak memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Berbagai fungsi hutan dalam strategi pembanggunan nasional
Tipuan angka devisa, seperti yang telah disampaikan di atas dapat diartikan bahwa devisa yang masuk melalui APBN ternyata hanya sedikit dari potensi sumberdaya hutan. Angka itu pun tidak sebanding dengan kerugian yang kita dapat dari kerusakan hutan karena pengelolaan hutan hanya berbasis pada kayu (timber oriented). Sementara banyak potensi lain yang jauh lebih bernilai ekonomi tinggi dan bisa meminimalisir dampak lingkungan.
Ketersediaan sumber daya hutan yang beranekaragam memberikan banyak alternatif dalam pemanfaatannya, dengan prinsip sustainable development hutan dijamin memberi manfaat yang lebih, antara lain adalah:
1. Hutan sebagai Bahan Makanan.
Kedaulatan pangan merupakan bagian dari kedaulatan politik. Ketidakstabilan politik dalam negeri saat ini disebabkan salah satunya karena bangsa kita belum memiliki kedaulatan pangan. Kondisi ini kadang menggelitik karena sebagai negara agraris Indonesia masih tergantung pada pasokan sumber pangan dari negara lain. Hutan selain mempunyai cadangan pangan baik nabati maupun hewani juga memiliki peran penting dalam menjaga ketersediaan air sebagai sarana irigasi pertanian. Keanekaragaman hayati merupakan sumber makanan utama yang langsung dapat dimanfaatkan masyarakat. Misalnya, berbagai jenis umbi-umbian atau ikan dan sebagainya.
2. Hutan sebagai Bahan Obat-obatan.
Sekitar 25% obat-obatan modern yang diperjualbelikan saat ini berasal dari tumbuhan di hutan tropis. Tapi tidak banyak produk obat-obatan tersebut yang dikelola oleh bangsa ini[2]. Umumnya para peneliti asing melakukan penelitian di hutan Indonesia untuk mencari sumber bahan obat dan ketika sudah menjadi produk kita harus membelinya, lebih ironis lagi ketika kita juga bermaksud membuat produk obat serupa kita harus membayar royalti karena bahan tersebut sudah dipatenkan, sebagai contoh ekstrak kayu bintangur (Callophilum sp) telah dijadikan obat anti kanker oleh para peneliti di Amerika Serikat, padahal kayu tersebut asli dari Indonesia.
Kemampuan meramu obat-obat alam oleh masyarakat lokal/adat di Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan kemampuan orang-orang Cina dalam meramu obat. Obat-obat alam tersebut mereka peroleh dari produsen obat-obat alam yaitu hutan. Ketergantungan masyarakat lokal/adat terhadap hutan sangat tinggi, terutama hutan sebagai produsen obat-obat alam. Kearifan-kearifan tradisional telah lama menggunakan obat-obat alam untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Ini adalah peluang untuk mengembangkan industri obat-obatan di Indonesia daripada kita harus membayar royalti dari barang yang telah diambil dari hutan kita. Transaksi perdagangan obat dunia per tahun mencapai US$ 43 milyar, sedang Indonesia punya peluang US$ 1 milyar.
3. Hutan sebagai Sumber Energi.
Saat ini, telah ditemukan sumber energi alternatif yang berasal dari hutan. Contohnya, nyamplung (Colophyllum inophyllum L) di beberapa daerah di kawasan timur Indonesia dan di kenal dengan nama Hitaullo, tanaman ini banyak ditemukan di daerah pesisir, berfungsi sebagai tanaman pelindung pantai atau sabuk hijau. Kodam III Siliwangi menjadikan tanaman ini sebagai bahan bakar nabati bahkan saat ini sebagian besar Alutsista milik Kodam III Siliwangi sudah menggunakan bahan bakar nabati (BBN) ini.
Selain itu, Dr.Willie Smits/Dr.Julius Pontoh dari Yayasan Gibbon menemukan kandungan Etanol yang sangat tinggi dalam tanaman Enau atau Aren (Arenga pinnata, suku Arecaceae). Tanaman ini adalah palma yang terpenting setelah kelapa (nyiur) karena merupakan tanaman serba guna. Tanaman ini tumbuh liar di hutan Indonesia. Di beberapa wilayah Sulawesi, Ambon dan Papua tanaman ini dimanfaatkan untuk dibuat minuman keras. Selain untuk bahan energi alternatif Koperasi Masarang saat ini mengelola tanaman ini untuk gula aren merah yang di beberapa negara Eropa tidak kurang dari £ 8 (delapan euro) atau setara dengan Rp80.000, - Rp100.000. Selain sumber energi dari bahan nabati, sungai-sungai yang mengalir dari dalam hutan di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai pembangit listrik melalui teknologi mikrohidro.
4. Hutan sebagai Sumber Pendapatan.
Banyak jenis tumbuhan dan binatang tropis yang bersifat endemik. Artinya hanya terhadap di daerah tertentu saja, sehingga mempunyai nilai komersil yang tinggi. Sayang sekali, kita masih tertinggal dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati (misalnya burung, serangga, kupu-kupu dan ikan) secara lestari. Perdagangan gelap mengancam kelestarian sumber daya hutan tersebut dan juga hanya menguntungkan segelintir orang saja. Selain itu, keanekaragaman dan keendemikan hayati, bisa menjadi obyek wisata yang dapat mendatangkan devisa yang besar. Kota Vancouver misalnya, meski berpredikat sebagai kota industri dan jasa terbesar di Kanada, kegiatan ekowisata merupakan pemasukan No.2 terbesar sesudah logging. Indonesia, dengan aneka ragam alam dan budayanya, seharusnya dapat menjadikan hasil hutan bukan kayu (HHBK) menjadi produk No.1 dengan obat-obatan dan ekowisata sebagai sumber pendapatan utama, setelah itu baru mengembangkan hasil kayu sebagai produk No.2.
5. Jasa Lingkungan.
Suatu manfaat keanekaragaman hayati selalu dekat dengan kehidupan manusia, tetapi sering dilupakan adalah manfaat jasa lingkungan (environmental services). Udara segar, panorama yang indah dan jasa-jasa lain yang selama ini kita nikmati cuma-cuma dari alam, sering kita tidak menghargai nilai tersebut. Saat pemanasan global menjadi isu, muka air laut naik, terjadinya perubahan iklim maka baru banyak pihak sadar bahwa hutan punya nilai yang tak tergantikan sebagai penjaga ekosistem global.
Ada cerita menarik ketika terjadi kebakaran hutan tahun 1997-1998 di Sumatera dan Kalimantan. Singapura dan Malaysia mengklaim telah dirugikan akibat kebakaran hutan tersebut, hal tersebut terjadi karena kabut asap telah menyebabkan roda perekonomian berhenti, merusak jadwal penerbangan dan menyebabkan berbagai penyakit pernapasan. Dengan dasar tersebut mereka menuntut agar Indonesia mengganti semua kerugian tersebut. Beberapa ahli kehutanan merespon bahwa bisa saja Indonesia mengganti seluruh kerugian tersebut dengan catatan Malaysia dan Singapura membayar juga udara segar yang mereka nikmati secara cuma-cuma dari hutan Indonesia selama ini .
Hutan Indonesia dan kepentingan Global
Pemanasaan global terjadi karena naiknya suhu bumi karena menipisnya lapisan Ozon, hal tersebut disebabkan karena pencemaran udara akibat tingginya karbon yang dikeluarkan dari indusri dan kendaraan bermotor serta efek gas rumah kaca. Umumnya karbon banyak dihasilkan oleh negara-negara industri maju, merekalah yang paling bertangungjawab terhadap kondisi tersebut. Dalam kurun 150 tahun sejak revolusi industri (1850), peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, khususnya karbon dioksida (CO2) mengalami peningkatan dari yang semula 290 ppmv (part per million by volume) menjadi 350 ppmv. Apabila pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, diperkirakan 100 tahun mendatang konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dari zaman pra-industri atau mencapai sekitar 580 ppmv.
Hal itu akan mengakibatkan suhu rata-rata bumi meningkat hingga 4,5 derajat Celcius, yang akan berdampak luar biasa bagi kelestarian lingkungan dan kehidupan manusia. Dampaknya terhadap pemanasan global dan perubahan iklim saat ini sudah terasa. Tanpa upaya menekan laju emisi GRK (Gas Rumah Kaca), maka suhu di bumi akan mengalami peningkatan suhu rata-rata yang mengakibatkan pola hujan tidak menentu, sehingga menyebabkan banjir dan longsor, serta kekeringan. Pemanasan global juga diperkirakan akan menaikkan permukaan air laut setinggi 60 cm di tahun 2070, yang mengancam kehidupan penduduk di wilayah pesisir. Meningkatnya frekuensi penyakit yang ditularkan nyamuk. Dampak negatif ini bukan hanya dirasakan oleh Indonesia akibat naiknya suhu bumi ini, seperti telah disebutkan di atas, negara-negara yang berada pada garis katulistiwa seperti Filipina, Tanzania, Brasil, dan juga beberapa negara dataran rendah juga mendapatkan dampak negatif dari pemanasan global seperti Bangladesh, Laos, Mozambique, Argentina, Nigeria. Kenyataan ini sangat memukul negara-negara berkembang, selain itu ada beberapa hal yang mendasari perlunya strategi konservasi dunia[3] adalah sebagai berikut :
  1. Kehidupan Manusia dan Pembangunan bergantung pada kelestarinya lingkungan.
  2. Program pembiakan dan perbaikan mutu tanaman budidaya dan ternak tergantung dari keragaman plasma nutfah.
  3. Kemampuan planet bumi untuk menunjang kehidupan manusia semakin berkurang.
  4. Lebih dari 500 juta penduduk didunia kekurangan pangan, 800 jt tergolong miskin dan terpaksa menghancurkan SDA untuk bertahan hidup.
  5. Sekitar 3000 Km² lahan pertanian subur lenyap tiap tahun.
  6. Bencana banjir, kehilangan hutan tropis dan pencemaran pantai semakin meningkat. Tingkat deforestasi hutan sejak tahun 1982 diperkirakan mencapai 17 juta Ha per tahun atau 1% dari total luasnya.
Bila menilik dari permasalahan tersebut di atas sebagai salah satu pemilik hutan tropis terluas di dunia, Indonesia mempunyai posisi penting dalam permasalahan pemanasan global. Sumbangan nyata yang bisa dilakukan Indonesia adalah dengan menjaga hutan tropis yang dimiliki, dengan ini kita semestinya dapat menuntut kepada dunia Internasional khususnya negara-negara industri maju untuk turut berpatisipasi dalam menjaga hutan alam Indonesia. Beberapa peluang Indonesia untuk menangkap isu tersebut adalah dengan skema yang menyelaraskan sisi konservasi dan sisi ekonomi yang juga mulai diintroduksi di beberapa negara yang dianggap sebagai salah satu lumbung aset ekologis seperti telah mulai diterapkan di negara-negara berkembang. Sumber pendanaannya bisa melalui skema yang antara lain adalah:
1. Konsep Carbon Trading. Perdagangan karbon dilakukan dengan negara penghasil emisi karbon.
2. Debt for Nature Swaps, dapat diartikan sebagai pembatalan utang luar negeri dan menukarnya dengan komitmen dari negara penghutang (debitur) untuk memobilisasi keuangan domestik dalam kegiatan konservasi.
3. Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme pembangunan bersih.
4. dan Eco-tourism, kegiatan wisata dan petualangan alam.
Beberapa skema tersebut merupakan alternatif yang bisa mengurangi resiko terhadap ancaman rusaknya kawasan hutan dari akibat kesalahan dalam pengelolaan, yang selama ini selalu berorientasi pada kayu (timber oriented) sehingga menyebabkan kerusakan ekosistem hutan tanpa mempedulikan sisi konservasi alam dan budaya. Walaupun ini merupakan peluang yang cukup menarik tetapi banyak hal masih perlu kita kaji bersama agar ke depan kita tidak menjadi alat kepentingan dunia sehinga kelestarian hutan bisa dirasakan manfaatnya secara ekonomi oleh masyarakat dan di sekitar hutan pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Penutup
Kekayaan sumber daya alam yang kita miliki merupakan aset pembangunan ke depan, permasalahannya bagaimana kita bisa memanfaatkan potensi tersebut secara arif dan bijaksana. Kekayaan hutan Indonesia menutupi lebih dari separuh luasan daratan dan menjadi tempat tinggal 80 - 95 juta jiwa komunitas lokal (komuniti forestri, Desember 2002). Pemerintah mengklaim 70% dari total daratan adalah hutan negara atau kawasan yang di kuasai oleh pemerintah. Sangat disayangkan dengan potensi kekayaan alam yang begitu melimpah ini belum mampu memberi pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Investasi yang berlebihan telah membuat kita kehilangan hutan hampir 1,6 juta hektar per tahun. Masalah penting lainnya adalah tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya alam secara langsung, sementara itu kemampuan melakukan perencanaan secara ilmiah masih sangat lemah. Demikian juga kemauan pemerintah untuk menerapkan prinsip keadilan, pemerataan dan kelestarian dalam mengelola keanekaragaman hayati untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.
Lemahnya kemampuan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut dianggap sebagai salah satu faktor penyebab pemasalahan ini. Apabila kondisi ini dibiarkan terus tanpa ada upaya pembenahan yang mendasar maka diprediksikan bahwa kekayaan alam yang kita miliki akan musnah dalam tempo 10-20 tahun yang akan datang. Untuk menjawab berbagai permaslahan tersebut ada beberapa hal mendasar yang mendesak untuk kita lakukan antara lain adalah :
1. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
2. Mewujudkan pemerintahan yang baik di bidang pengelolaan lingkungan dan kehutanan (Good Enviromental Governance dan Good Forest Governance).
3. Penguatan ekonomi berbasis sumber daya alam melalui penguatan usaha kecil menengah (UKM).
4. Paradigma pengelolaan hutan harus didorong menuju pemanfaatan hutan berbasis sumber daya hutan (forest resources based management).
Dengan empat hal tersebut diyakini pengelolaan sumber daya alam Indonesia akan dapat menjawab berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi selama ini, sehingga eksploitasi alam yang berlebihan,dan perubahan hutan untuk fungsi lain harus dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.


[1]. H.M.S. Kaban, SE, Msi. 2006. ”Rencana pembangunan kehutanan jangka panjang kehutanan tahun 2006-2025” Departemen Kehutanan 2006 .
[2] N. F. Farnsworth. 1988. Screening Plants for New Medicines, memberikan daftar beberapa tanaman yang telah diteliti untuk pengobatan (lihat referensi Wilson 1988).
[3]. Wiratno, Daru Indriyo, Ahmad Syarifudin, Ani Kartikasari. BERKACA DICERMIN RETAK ”Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional” FOReST PRess Cetakan ke 2.


[i] Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar