Mengenai Saya

Foto saya
Depok , Jawa Barat, Indonesia

Kamis, 24 Maret 2011

KEMISKINAN MASALAH DAN SOLUSINYA

KEMISKINAN MASALAH DAN SOLUSINYA
DW.KRISTIANTO
Program Studi Ilmu Sosiologi, Juruasan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fakultas Ekonomi
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
Pendahuluan
Menurut Departemen Sosial dan BPS kemiskinan didefiniskan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk layak hidup, kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai setándar kebutuhan mínimum, baik untuk makanan dan non makanan yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Sedangkan, Mack dan Lansley dalam Jordan (1996 :95) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan dalam kebutuhan perhatian sosial. Sementara, Bill Jordan (1996 :96) mengartikan orang miskin : “The poor are people whose lack of resources damage their capacity to participate in a market environment”(yang artinya Orang miskin adalah orang-orang yang karena kekurangan sumberdaya pada dirinya mengakibatkan rusaknya kapasitas untuk berpartisipasi dalam lingkungan pasar/dunia usaha).
Bappenas dalam Sahdan (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Sementara kalau mengacu pada definisi kemiskinan menurut Departemen Sosial(Kementerian Sosial) dan BPS Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untk dapat membayar setiap kebutuhan makanan setara 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri atas perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.(Nurhadi,2007:13).
Dimensi dan Klasifikasi Kemiskinan
Konsep kemiskinan merupakan suatu konsep yang multidimensional sehingga konsep kemiskinan tidak mudah untuk dipahami. Menurut Widodo, (2006:296) Kemiskinan paling tidak memiliki tiga dimensi, yaitu :
a) Kemiskinan politik.
Kemiskinan politik memfokuskan pada derajat akses terhadap kekuasaan (power). Yang dimaksud kekuasaan disini meliputi tatanan sistem sosial politik yang menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial dan menentukan alokasi sumber daya.
b) Kemiskinan sosial.
Kemiskinan sosial adalah kemiskinan karena kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapat kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Dengan kata lain kemiskinan sosial adalah kemiskinan yang disebabkan adanya faktor-faktor menghambat yang mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang tersedia.
c) Kemiskinan Ekonomi
Kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan kekurangan sumber daya (resources) yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia pada kelompok ini dan membandingkannya dengan ukuran-ukuran baku. Sumber daya yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup konsep ekonomi yang luas tidak hanya merupakan pengertian finansial, dalam hal ini kemampuan finansial keluarga untuk memenuhi kebutuhan, tetapi perlu mempertimbangkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam beberapa klasifikasi. Kemiskinan berdasarkan penyebab terjadinya kemiskinan tersebut, yaitu :
a) Kemiskinan Individu, kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain.
b) Kemiskinan Alamiah, kemiskinan yang disebabkan lebih dikarenakan oleh masalah alam, misalnya kondisi geografis suatu daerah yang tidak mendukung untuk berkembang, atau dapat pula karena faktor-faktor alam lainnya seperti bencana alam
c) Kemiskinan Kultural, kemiskinan yang disebabkan rendahnya kualitas SDM akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya
d) Kemiskinan Struktural, kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Mengapa terjadi kemiskinan.
Menurut Joel F. Handler & Yehaskel Hansenfeld dalam bukunya Blame Welfere Ignore Poverty and Inquality menyampaikan :
Several major faktors heve been suggested for the persistence of hige poverty : (1) patterns of economic growth and decline; (2) the changeng labor market; (3) Sosial inequality; (4) Changeng demographics, especially the rise of single-parent household; (5) Sosial polisy.
Ada lima penyebab utama yang menjadi penyebab kemiskinan, yaitu :
1. Pola pertumbuhan dan perubahan ekonomi.
Contahnya di Amerika pasca perang dunia ke II pertumbuhan ekonomi meningkat pesat pada tahun 1950-1960 pendapatan rata-rata rumbuh dari $19,500 ke 26,800 dan tingkat kemiskinan turun dari 32% ke 22 %, pertumbuhan ekonomi meningkat pesat. Tapi setelah itu terjadi krisis minyak pada tahun 1973, kondisi ini menyebabkan terpukulnya sektor jasa dan industri manufaktur jatuh hingga 1%, inflasi meningkat hingga 12 % dan penganguran meningkat 5,5%. Pendapatan perkapita dari $40,000 turun menjadi $38,600.
2. Perubahan pasar tenaga kerja.
Profesionalisme pekerjaan dalam perkembanganya mengalami perubahan yang lebih berbasis pada tingkat pendidikan, artinya pekerja yang mempunyai tingkat pendidikan rendah kelas pekerjaanya tidak akan banyak bergeseser/meningkat tanpa meningkatkan status pendidikan. Ini juga berpengaruh pada tingkat penghasilan. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya renda, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturuan.
3. Ketimpangan sosial.
Dengan penghasilan berbeda tersebut akan menyebabkan pada rendahnya masyarakat untuk bisa meningkatkan pendidikan, disini terus terjadi secara sistimatis ketimpangan tersebut.
4. Perubahan demografi, khususnya peningkatan keluarga dengan orang tua tunggal.
Perubahan sosial menyebabkan kemiskinan, maksudnya dengan terjadinya angka percerain menyebabkan anak diasuh oleh orang tua tunggal, hal ini berdampak pada tingkat kesejateraan dan perhatian kepada anak untuk dapat dewasa dan mendapatkan akses pendidikan yang layak.
5. Kebijakan sosial.
Dibeberapa negara kebijakan sosial yang tidak berpihak kepada kepentigan masyarakatnya berdampak buruk tingkat kesejahteraan. Contohnya biaya pendidikan, kesehatan yang mahal dan tidak ditanggung oleh negara, rendahnya setandar pendapatan upah minimum, akses masyarakat terhadap sumberdaya dan lain-lain.
Mengukur tingkat kemiskinan.
Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan tidak mudah untuk mengukurnya. Secara umum ada dua macam ukuran kemiskinan yang biasa digunakan yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relative (Arsyad dalam Tri Widodo,2006: 298)
a. Kemiskinan Absolut
Dalam konsep ini kemiskinan dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Kebutuhan tersebut dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar ( basic need ) yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Apabila pendapatan tersebut tidak mencapai kebutuhan minimum, maka dapat dikatakan miskin. Sehingga dengan kata lain bahwa kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masalah utama dalam konsep kemiskinan absolut adalah menentukan tingkat komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat istiadat, iklim dan berbagai faktor ekonomi lain. Konsep kemiskinan yang didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum merupakan konsep yang mudah dipahami tetapi garis kemiskinan objektif sulit dilaksanakan karena banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Tidak ada garis kemiskinan yang berlaku pasti dan umum, hal itu dikarenakan garis kemiskinan berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya.
Untuk memudahkan pemahaman terhadap kemiskinan absolut, yaitu seseorang yang mempunyai pendapatan dibawah garis kemiskinan atau tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum seperti pangan, papan, sandang, kesehatan, dan pendidikan.
Definisi kemiskinan menurut Chambers (1983) adalah suatu kondisi hidup yang ditandai kekurangan gizi, tuna aksara, wabah penyakit, lingkungan kumuh, mortabilitas bayi yang tinggi dan harapan hidup yang rendah definisi ini disebut dengan kemiskinan mutlak.
b. Kemiskinan Relatif
Seseorang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti tidak miskin. Hal ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya, walaupun pendapatannya sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Berdasarkan konsep kemiskinan relatif ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat. Sehingga kemiskinan relatif yang subyektif, ditentukan oleh dirinya sendiri karena membandingkan dirinya dengan masyarakat sekelilingnya.
Pada umumnya, ukuran kemiskinan dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Bila pendapatan tidak mencapai kebutuhan minimum, maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan.
Kemiskinan bersifat multidimensi sehingga setiap orang akan memberikan pengertian yang berbeda pula sesuai dengan sudut pandangnya. Namun demikian, karakteristik kemiskinan pada umumnya hampir sama. Menurut Quybria (dalam Dillom, 1993) mengemukakan beberapa karakteristik kemiskinan di Asia Tenggara sebagai berikut:
a) Kemiskinan lebih banyak ditemui di pedesaan daripada diperkotaan.
b) Kemiskinan berkorelasi positif dengan jumlah anggota keluarga dan berkorelasi positif dengan jumlah pekerja dalam satu keluarga.
c) Kemiskinan ditandai oleh rendahnya pemilikan aset keluarga.
d) Pertanian merupakan sumber utama bagi rumah tangga miskin.
e) Kemiskinan berkaitan dengan masalah sosial budaya yang dinamis.
(Arisudi dan Andarwati : 2003).
Karakteristik diatas dapat diidentifikasi dari indikator kemiskinan yang digunakan oleh setiap negara. Berdasarkan indikator kemiskinan setiap negara dapat menetapkan jumlah orang miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan. Biro Pusat Statistik menetapkan patokan 2.100 kalori per hari untuk kebutuhan minimum makanan, sedangkan pengukuran bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa (Kuncoro,M 1997 : 148). Sharp,et.al dalam Kuncoro (2003:131) mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi.
1. Secara mikro, kemiskinanan muncul karena adanya ketidaksamaan pola pemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya alam dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.
2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
3. Ketiga kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitasnya mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendanya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya logika ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse, di tahun 1953 yang mengatakan: “a poor country is poor because it is poor” (negara itu miskin karena dia miskin).
Paradigma Pembangunan Sosial dan Solusi Permasalahan Kemiskinan
Dalam upaya mencari penjelasan paradigmatik atas bias pengentasan kemiskinan yang terjadi akibat dominasi paradigma neoliberalism, ada baiknya diuraikan paradigma pembangunan sosial yang meletakkan dan menekankan pembangunan sosial (masyarakat) sebagai orientasi utamanya. Seperti United Nations Center for Regional Development (UNCRD) yang merumuskan pembangunan sosial (masyarakat) dalam tiga pengertian:
Pertama, pembangunan masyarakat sebagai pengadaan pelayanan masyarakat. Interpretasi pembangunan masyarakat merupakan kelengkapan dari strategi kebutuhan pokok. Pembangunan masyarakat identik dengan peningkatan pelayanan sosial sosial, seperti: fasilitas kesehatan, peningkatan gizi, fasilitas pendidikan, sanitasi dsb yang intinya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kedua, pembangunan masyarakat sebagai upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi. Antara lain untuk mencapai tujuan sosial (social goals) yang sukar diukur seperti: keadilan, pemerataan, peningkatan budaya (cultural promotion), dan kedamaian pikiran (peace of mind).
Ketiga, pembangunan sosial sebagai upaya terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini pada dasarnya merupakan derivasi dari pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered devolepment).
Dalam paradigma seperti itu, pembangunan harus menekankan pada “pengelolaan sumber pada masyarakat sendiri. Yang ciri-cirinya, menurut Korten (1986), antara lain: (1). Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri (bottom up planning). (2). Fokus utamanya adalah menciptakan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat dikomunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. (3). Pendekatan ini mentoleransi variasi lokal, dan karenanya, sifatnya fleksibel menyesuaikan dengan kondisi lokal. (4). Di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses social learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas: mulai dari perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada saling belajar. (5). Proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrat dan lembaga swadaya masyakarat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini.
Melalui networking ini diharapkan terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan tingkat lokal. Harapannya lebih menjamin tumbuhnya self-sustaning capacity masyarakat menuju sustained development (Moeljarto, 1996: 27).
Sedangkan ciri-ciri pembangunan sosial antara lain: (1). Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di tingkat lokal, yang didalamnya rakyat memiliki identitas dan peranan yang dilakukan sebagai partisipasi yang dihargai. (2) Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi dan mengerahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan yang khas menurut daerah mereka sendiri. (3) Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan dan karenanya mengakui arti penting pilihan nilai individual dan pembuatan keputusan yang terdistribusi. (4). Pendekatan ini mencapai tujuan pembangunan sosial melalui proses belajar sosial (social learning) yang dalam proses sosial tersebut individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatoris, dan dituntun oleh kesadaran kritis individual. (5). Budaya kelembagaan ditandai adanya organisasi yang mengatur diri sendiri, dan lebih terdistribusi, yang menandai unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri. (6). Jaringan koalisi dan komunikasi pelaku (aktor) lokal dan unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri (Korten, 1986: Moeljarto, 1987).
Model Pembangunan Kebutuhan Dasar/Kesejahteraan. Model ini pada dasarnya mengoreksi kekurangan model pertumbuhan. Model ini mencoba memecahkan kemiskinan secara langsung, yang tidak hanya melalui mekanisme “trickle-down effect”. Model Pembangunan Nasional yang berpusat pada Manusia. Model ini berwawasan lebih jauh dari sekedar pertumbuhan GNP atau mengadaan pelayanan sosial. Dalam hal ini peran pemerintah menciptakan lingkungan sosial yang mendorong aktualisasi potensi diri manusia (Moeljarto, 1996: 36). Makna pembangunan sosial sebagai usaha usaha terencana meningkatkan kemampuan untuk bertindak, merupakan antitesa dari model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan maupun pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan/kebutuhan dasar.
Sedangkan Sar A. Levitan.,2003 dalam Programs in Aid of the Poor. Menyampaikan salah satu strategi penangulangan kemiskinan antara lain:
  1. Pengembangan tenaga kerja
  2. Mewajibkan program trining untuk pekerja
  3. Mendorong perubahan kelompok lain
  4. Mendorong pendidikan orang dewasa
  5. Menyediakan dan mencarikan pekerjaan
  6. Mendorong upah minimum
  7. Mendorong program pembangunan ekonomi
Bagamana cara mengentaskan kemiskinan.
Masalah kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan masalah ekonomi yang serba agregat seperti sandang, pangan dan papan, tetapi juga berkaitan dengan dimensi budaya seperti harga-diri (dignity), kemandirian (self-confidence) masalah sosial seperti partisipasi (participation), social capital (trust, reciprocity, solidarity). Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan dasar dalam mencari jalan keluar dari permaslahan kemiskinan adalah, sejauhmana berbagai dimensi tersebut telah mengontruksikan kemiskinan yang ada dalam masyarakat.
Apapun menyebabnya, salah satu yang agaknya terabaikan dalam strategi pengentasan kemiskinan adalah masih kuatnya mindset lama, bahwa pengentasan kemiskinan hanya dipandang sebagai upaya pembebasan masyarakat miskin dari indikator-indikator konvensional (pemenuhan sandang, pangan, dan papan) yang bersifat serba agregat (terukur). Mestinya pengentasan kemiskinan juga, dipandang sebagai usaha untuk memposisikan masyarakat miskin memiliki: harga diri (self esteem), kemuliaan (dignity), kemandirian (independence), pengakuan (recognition) dan kebebasan (freedom). Singkatnya, penyebab kemiskinan adalah multidimensional karenanya penyelesaiannya juga membutuhkan pendekatan multidimensi. Utamanya adalah bagaimana memberikan kemampuan masyarakat untuk berproduksi dan bekerja sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, berdaulat dan berkeadilan.
Daftar Pustaka
Anas Saidi. Kemiskinan Berdimensi Sosial-Budaya: Upaya Mencari Model Pengentasan Kemiskinan Berbasis Participatory Poverty Assessment
Arisudi, A dan Andarwati. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Desa melalui
Operasi Pasar Khusus Beras (Studi pada Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Desa Kenep, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Universitas ekonomi Universitas Brawijaya : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial(Social Sciences).
Chambers, R. (1983). Rural development: Putting the last first. UK: Longman-Harlow.
Joel F. Handler & Yehaskel Hansenfeld dalam bukunya Blame Welfere Ignore Poverty and Inquality
Jordan, Bill. (1996). A theory of poverty and social exclusion. Cambridge: Polity Press.
Korten. David C., . « People Centered Development : Reflection on Development Theory and Method », Manila : mineograph.
Kuncoro, Mudrajad, 2003, Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi Ketiga, Yogyakarta :UPP AMP YKPN.
Moeljarto. 1993. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta
Nurhadi. 2007. Mengembangkan Jaminan Sosial, Mengentaskan Kemiskinan.Yogyakarta: Media Wacana.
Sahdan, Gregorius, 2005, Menanggulangi Kemiskinan Desa, dalam Jurnal Ekonomi Rakyat. http:// www.jurnalekonomirakyat.com
Sar A. Levitan.,2003 dalam Programs in Aid of the Poor, The Jhon Hopkins University Press.
Widodo, Tri. 2006. Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah). Yogyakarta: UPP STIM YKPN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar